Penyebab Punahnya Kearifan Lokal


Dari beberapa  kearifan lokal menunjukkan bahwa ada kearifan lokal dalam pengelolaan SDA yang tidak dapat bertahan hingga punah dan tinggal sejarah atau cerita-cerita bijak tinggalan nenek moyang, tatapi ada juga kearifan lokal dalam pengelolaan SDA yang dapat mampu bertahan dan bahkan berkembang dalam era teknologi maju dewasa ini, Faktor-faktor apa yang sebenarnya mempengaruhi hal tersebut, akan dicoba diuraikan dalam tulisan ini.

Mekanisasi Pertanian Berperan menghapus Kearifan Lokal
Mekanisasi Pertanian Berperan menghapus Kearifan Lokal


Penyebab kearifan lokal tidak dapat betahan menurut Sartini  (2006) ada dua,  sebagaimana kutipan berikut ini:


1. Benturan nilai dan relativitas budaya

Individu dan kelompok masyarakat biasanya menganut nilai sendirisendiri. Bila terjadi pertemuan di antaranya dan satu dengan yang lain nampak tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya merasa benar dan menyalahkan pihak yang lain. Apabila satu dianggap salah oleh yang lain maka ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan kultural bukan semata-mata bersifat subjektif atau pribadi tetapi lebih menjadi bersifat intersubjektif. Individu sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu tindakan adalah makna yang ditanggapi bersama dengan orang lain. Makna ini didasarkan pada asumsi-asumsi tindakan kultural. Oleh karenanya penilaian kultural menjadi relatif (meskipun dalam konteks etis ada pihak yang mengambil posisi relativisme etis dan absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, di atas relativitas tersebut yang mutlak adalah kebenaran Tuhan).

Dalam budaya tertentu orang mungkin harus mengagung-agungkan dirinya di depan umum dalam rangka memberi semangat rakyat, tetapi dalam budaya yang lain tindakan tersebut mungkin dianggap sombong atau bahkan dilarang. Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa dalam aneka ragam budaya dengan segenap nilai kulturalnya, ada pemahamanan yang tidak selalu sama antara yang dianggap baik di pihak yang satu yang berbeda dengan penilaian pihak lain. Hal yang menjadikan masing-masing orang atau kelompok orang berbeda-beda dan menilai sesuatu secara berbeda adalah karena orientasi nilai masingmasing mereka yang berbeda. Perbedaan latar belakang dan orientasi budaya inilah yang sering menyebabkan terjadinya konflik. Oleh karena itu perlu masingmasing orang atau kelompok orang menyadari perbedaan orientasi nilai budaya ini. Tentang bagaimana orang yang berbeda nilai budaya ini dapat saling memahami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan jalan dialog.

Dalam konteks kearifan lokal, penjelasan ini memungkinkan akan adanya spesifikasi dari masing-masing budaya lokal yang muncul dan dapat diwacanakan.

2. Pengaruh Globalisasi

Globalisasi adalah suatu keadaan, tetapi juga suatu tindakan di mana aktivitas kehidupan tidak lokal dalam suatu negara tetapi mendunia. Hal ini dapat dilihat pada istilah ekonomi global ketika transaksi ekonomi dilakukan lintas negara secara massal. Istilah komunikasi global juga kita temukan ketika kita berbincang-bincang tentang penggunaan internet sebagai media komunikasi yang dapat mengakses berita dari seluruh dunia tanpa ada aturan yang terlalu ketat.

Globalisasi bukan gejala baru, bahkan negara-negara maju untuk masa sekarang ini sudah menggunakan istilah globalisasi baru (new globalism). Bagi Indonesia dan negara-negara Asia, globalisasi masih merupakan pengalaman baru. Globalisasi sebagai gejala perubahan di masyarakat yang hampir melanda seluruh bangsa sering dianggap ancaman dan tantangan terhadap integritas suatu negara. Dengan demikian bila suatu negara mempunyai identitas lokal tertentu, dalam hal ini kearifan lokal, ia tidak mungkin lepas dari pengaruh globalisasi ini.

Dalam lingkungan yang pesimistik, globalisasi menyebabkan adanya globalophobia, suatu bentuk ketakutan terhadap arus globalisasi sehingga orang atau lembaga harus mewaspadai secara serius dengan membuat langkah dan kebijakan tertentu. Bagaimana pun globalisasi merupakan suatu yang tidak dapat dihindari sehingga yang terpenting adalah bagaimana menyikapi dan memanfaatkan secara baik efek global sesuai dengan harapan dan tujuan hidup. Siakap inilah yang mengakibatkan adanya perubahan baik dari pemahaman maupun dalam tataran prakteknya masyarakat terhadap kearifan lokal.

Saya perlu menambahkan, satu lagi penyebab kearifan lokal tidak dapat bertahan adalah adanya peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di kalangan petani sudah hilang pemahaman atau keyakinan Dewi Sri. Mereka meyakini, itu sebagai dongeng dan padi telah dapat direkayasa oleh ilmu pengetahuan (Balai Produksi Benih atau perusahaan yang memproduksi benih), meskipun saat ini dikalangan petani saat ini telah kehilangan teknologi menghasilkan benih sendiri. Bergantung dengan benih yang diproduksi perusahaan/pemerintah.
Dengan ilmu pengetahuan  yang dipahaminya, tidak lagi melakukan upacara ritual untuk membuka kebun, atau hutan baru yang akan dikelola menjadi kebun. Jaman sudah berubah. Tidak ada lagi penunggu hutan, penunggu kebun.





Sedangkan kearifan lokal yang masih bertahan hingga kini, menurut saya ada beberapa faktor sebagai berikut:

1.     Kearifan lokal tersebut berhubungan erat dengan keyakinan keagamaan, tidak sekedar kepercayaan saja.

Untuk masyarakat Bali yang masih mempertahankan tradisi subak, meskipun sudah berada di perantauan karena menyangkut dengan keyakinan keagamaman hindu bali. Ada dewa yang mengatur perairan yaitu dewa Baruna, dia yang mengatur siklus hidrologi dari hujang hingga ke laut. Oleh karena itu dalam pemanfaatan oleh manusia untuk kepentingan pertanian harus mendapat restu dari dewa Baruna. Jika tidak akan mendapatkan masalah seperti saluran jebol, banjir atau kekeringan, dapat juga berupa gagal panen. Keyakinan bahwa padi ini adalah jelmaan dari Dewi Sri juga masih melekat, meskipun tidak terlalu kental. Hal yang sama juga terdapat pada suku Badui di Banten, suku Kubu di Jambi. Contoh lain adalah keyakinan pengikut Jacob Amman, yang merupakan sekte kristen yang dikenal dengan kelompok Amish.

2.    Adanya pemimpin yang dipercaya dan ditaati oleh pengikutnya.

Pada kelompok Subak, seorang Klian yang ditaati sehingga keputusannya merupakan hukum, Ketua/kepala Suku berperan pada suku-suku yang dianggap terasing di Indonesia, Pendeta gereja yang memutuskan berbagai persoalan pada kelompok Amish.

3.    Kemampuan tradisional dalam membentengi benturan budaya dan pengaruh globalisasi.

Pada tingkat lokal, mereka memiliki tata aturan yang baku dalam menghadapi benturan budaya yang dapat menjadi solusi. Seperti keputusan untuk tidak menggunakan teknologi, selain dapat memberikan bencana tetapi juga ada teknologi lokal yang dapat menjadi alternatif. Sehingga muncul keyakinan bahwa apa yang dilakukan lebih baik dibanding dengan teknologi luar. Seperti teknologi pertanian yang diterapkan oleh kelompok Amish, ternyata menjadi teknologi yang berkelanjutan dan produksinya tidak kalah dibandingkan dengan teknologi konvensional yang padat modal.

4.    Komunitas yang menjalankan kearifan lokal pada wilayah isolasi tertentu yang kondusif.

Mereka berada pada wilayah tertentu baik secara geografis maupun administratif dalam komunitas yang cukup besar. Jika berpencar atau terpecah hanya beberapa orang saja maka benturan budaya akan terjadi. Biasanya yang minoritas akan kalah. Tetapi jika komunitas berkumpul dalam jumlah tertentu mereka dapat menerapkan keyakinan mereka yang kita sebut dengan kearifan lokal.
Kondisi geografis yang mendukung untuk menerapak kearifan lokal tersebut juga menjadi hal yang penting. Sebagaimana para peladang berpindah, secara konsep konservasi lingkungan dapat dinilai baik, akan tetapi arealnya semakin berkurang, maka kegiatan tersebut tidak dapat berlangsung, lama kelamaan akan punah.

Posting Komentar

2 Komentar

Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda