Apakah kearifan Lokal dapat menyelamatkan bumi?

Sejalan dengan perubahan (kemajuan) zaman yang ditandai dengan berbagai penemuan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan, kemajuan teknologi cenderung mengancam kelestarian sumberdaya alam. Di sisi lain, kearifan lokal dalam pengeloaan SDA mulai digali kembali untuk direvitalisasi karena ada beberapa ahli dan aktivis lingkungan meyakini bahwa kearifan lokal dapat menyelampatkan bumi kita dari kehancuran. Bisakah kearifan lokal dalam pengelolaan SDA menyelamatkan bumi kita?.

Tanam padi manual, sebuah kerifan lokal

Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat menyelamatkan bumi. Saya sangat meyakininya. Tetapi dalam batasan kearifan lokal yang sesuai dengan ilmu dan akal sehat. Logika sederhananya adalah, kearifan lokal tidak penemuan yang sebentar, melalui proses yang panjang dari para pelaku lokal. Kearifan lokal telah mengalami uji adaptasi oleh berbagai generasi secara simultan. Kearifan lokal dibangun berdasarkan potensi yang  sesuai dengan kondisi alamiah. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Ada berita yang cukup mencemaskan yang dimuat di Kompas.com pada tanggal 11 April Lalu. Sebuah judul Tahun 2500 bumi tak layak huni. Menyampaikan sebuah pendapat dari Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Prof Dr Jumina, di kantor PSE UGM, Sekip Yogyakarta. Pemanasan global, selain menyebabkan perubahan iklim, juga menaikkan suhu bumi rata-rata 0,2 derajat celsius per 10 tahun atau 2 derajat celsius dalam 100 tahun. Kenaikan suhu sebesar itu menyebabkan kenaikan permukaan air laut setinggi 20 sentimeter.  Tanpa ada upaya serius dan sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) ke atmosfer bumi, suhu rata-rata permukaan bumi yang pada tahun 2010 berada pada kisaran 14,6 derajat celsius akan naik menjadi sekitar 25 derajat celsius pada tahun 2500.

Terjadinya peningkatan emisi CO2 secara terus-menerus itulah yang menyebabkan para pakar lingkungan merasa sangat prihatin. Usaha untuk mengurangi emisi CO2 pun dilakukan, antara lain melalui penandatanganan Protokol Kyoto pada 1999. Sayang, Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar kedua di dunia hingga saat ini belum bersedia menandatangani protokol tersebut. Begitu pula China yang merupakan penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Sumbangan sektor energi terhadap emisi CO2 dan fenomena pemanasan global sangat besar. Dengan demikian, demi mengurangi tingkat emisi CO2 domestik dan menekan laju terjadinya pemanasan global, maka penerapan konsep energi bersih sangat diperlukan. Energi bersih bisa diartikan sebagai energi ramah lingkungan, atau energi yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Kompas.com, 11 April 2011)

Ini adalah fakta dampak dari era industrialisasi. Bagi peradaban manusia memberikan kemudahan yang sangat besar, tetapi ekslploitasi alam yang berlebihan harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Industrialisasi menuntut asupan energi yang sangat besar. Ketersediaan energi di permukaan bumi menjadi semakin menipis. Pemanfaatan energi tersebut untuk menjalankan mesin industri ternyata mengeluarkan hasil pembakaran yang merusak lingkungan. Solusi energi bersih, pemanfaatan energi yang tidak mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan (zero waste). Adakah ini di teknologi modern. Ternyata susah diketemukan kecuali dapat mengeksplorasi energi terbarukan, seperti energi surya, air dan bayu yang tidak mengeluarkan limbah sebagaimana energi biomasa dan fosil. Konsep energi bersih sebenarnya banyak ditemukan pada kearifan lokal. Keterbatasan pemahaman kita untuk menterjemahkan bahasa kearifan lokal yang cenderung mitis/mistik, membuat lambat menangkap maksud dan tujuannya.
Berikut ini hasil penelitian MJ Pattinama (2009)  tentang kearifan lokal orang Bopolo di Pulau Buru. Orang Bupolo walaupun disebut orang miskin menurut orang luar, namun di sisi lain mereka memiliki nilai dan norma untuk melindungi hutan, sumber air, danau, gunung, tanaman tahunan (sagu, minyak kayu putih dan pohon lainnya) serta tanaman pangan. Hutan primer merupakan tempat tinggal roh nenek moyang yang memelihara kelangsungan manusia dan alam. Oleh karena itu, orang Bupolo melarang pengusaha eksploitasi hutan untuk beroperasi di hutan primer yang dinyatakan sakral, sedangkan hutan sekunder adalah tempat aktivitas pertanian.

Orang Bupolo  membagi ruang pulau Buru atas tiga bagian. Pertama,kawasan yang dilindungi karena nilai kekeramatannya. Wilayah ini termasuk Gunung Date (kaku Date), Danau Rana (Rana Waekolo), dan tempat keramat di hutan primer (koin lalen). Kedua, kawasan yang diusahakan, meliputi pemukiman (humalolin dan fenalalen), kebun (hawa), hutan berburu atau meramu (neten emhalit dan mua lalen), hutan kayu putih (gelan lalen) dan tempat memancing (wae lalen). Ketiga, kawasan yang tidak diusahakan, meliputi bekas kebun (wasi lalen) dan padang alang-alang (mehet lalen). Inti dari konsep dan pemahaman terhadap lingkungan dengan berbagai aturan adat dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dan sekaligus mempertahankan nilai keberadaan dari satuan kawasan yang sudah merupakan suatu identitas yang harus dipertahankan.

Kuatnya ikatan orang Bupolo dengan suatu ruang adalah adanya cerita mitos yang sekaligus pula menjadi perekat diantara mereka, misalnya gunung dan air adalah dua kekuatan yang memberikan banyak inspirasi hidup bagi orang Bupolo untuk tetap bertahan pada wilayah pegunungan yang terisolir. Oleh sebab itu dalam keseharian, Gunung Date adalah tempat berdiam para leluhur. Jadi Gunung Date harus dijaga dengan tatanan adat yang kuat dari pengaruh orang luar, dengan memberlakukan larangan membawa orang luar mengunjungi dan melintasi Gunung Date.

Pengaturan waktu (kalender musim) menurut pemahaman orang Bupolo disesuaikan menurut phenomena alam dari dua jenis pohon: Kautefu (Pisonia umbellifera Fors & Soom) dan Emteda (Terminalia sp.). Untuk pohon yang pertama (kautefu), jika buahnya telah mengeluarkan cairan seperti lem, maka musim panas akan tiba atau sering disebut mena kautefupolo. Itu berarti kegiatan menebang pohon, membersihkan lahan dan membakar akan segera dilaksanakan. Pohon yang kedua (emteda) lebih banyak dipakai untuk menandai kegiatan mereka sepanjang tahun. Urutan pengamatan terhadap perubahan fisiologi tanaman Terminalia sp. Dapat diikuti sebagai berikut: Emteda omon bato (daun berlobang, warna kuning) artinya musim panas terik: mulai menebang dan membersihkan lahan. Egroho (daun gugur) artinya musim panas: kegiatan membakar. Efut (tunas daun mulai muncul) artinya panas diselingi dengan gerimis: musim tanam diawali dengan upacara adat dan pada saat yang sama dilaksanakan perayaan perkawinan. Orang Bupolo selalu menanam kacang tanah (Arachis hypogaea) sebagai tanaman pertama, disekeliling kebun ditebar tanaman feten (Setaria itallica), padi ladang (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Efutale adalah masa ketika daun mulai membesar dan bakal buah mulai keluar. Artinya musim panas dan gerimis pada sore hari. Pada musim ini kegiatan menyiang hanya dilakukan oleh kaum perempuan, sedangkan kaum lelaki mulai kegiatan penyulingan minyak kayu putih dan berburu rusa. Selwala hat (buah besar) artinya akhir dari musim hujan. Pada masa ini kegiatan orang Bupolo adalah mengumpulkan damar dan rotan sekaligus melakukan kegiatan berburu.

Kearifan lokal dari Orang Bupolo lainnya adalah budaya sasi. Sasi adalah seperangkat norma, adat dan aturan dan sanksi mengenai larangan pengambilan hasil tanaman/tumbuhtumbuhan, ikan dan hewan buruan sebelum waktu yang telah disepakati/ditetapkan oleh pimpinan dan tokoh masyarakat bersama warga masyarakat (kewang dan gereja/mesjid). Tujuannya adalah konsevasi. Di Pulau Saparua misalnya, masih ditemukan 30 aturan sasi dan 17 jenis sanksi/denda. Secara umum dikenal dua jenis sasi. Pertama, sasi pemerintahan desa (negeri). Sasi ini dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah desa, sehingga barang siapa yang melanggar sasi akan dikenakan sanksi oleh pemerintah desa. Sanksi yang dikenakan adalah denda dalam bentuk uang atau materi. Sasi jenis kedua disebut sasi gereja/mesjid. Sasi ini dikeluarkan dan diumumkan oleh pimpinan keagamaan. Berdasarkan pengakuan masyarakat desa, sasi gereja/mesjid lebih dipatuhi warga karena takut mendapatkan hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.



Hukuman itu dapat berupa sakit penyakit, mara bahaya atau kegagalan panen. Terminologi sasi dikenal oleh masyarakat Maluku yang berasal dari Pulau Ambon-Lease dan Seram. Masyarakat di Pulau Buru menyebutnya dengan istilah sihit (larangan) dan hanya ilakukan oleh pemangku adat dan tidak melibatkan institusi agama (khusus bagi orang Bupolo yang masih taat mempraktekan ritual adat). Yang menarik dapat disebutkan bahwa bagi orang Bupolo yang tinggal di pesisir pantai (Geba Masin) dan sudah memeluk agama, maka aturan sihit sudah dipraktekkan seperti yang berlaku dalam aturan sasi gereja/mesjid. Pada saat acara buka sasi, setiap warga desa bebas untuk memanen hasil tanaman, ikan, dan binatang buruan. Sebaliknya, pada waktu sasi dinyatakan ditutup, maka setiap warga desa tidak diperbolehkan untuk mengambil hasil tanaman, ikan, dan hewan buruan. Jenis tanaman yang umumnya di-sasi adalah tanaman perkebunan, sedangkan hasil laut yang biasa di-sasi adalah ikan lompa dan teripang (khusus masyarakat Maluku di Pulau Haruku). Hewan buruan yang di-sasi antara lain babi, rusa dan kusu. Mengapa harus ada sasi dan sihit? Tujuan utama sasi dan sihit adalah melestarikan sumberdaya alam seperti tanaman, hasil laut dan binantang buruan dimana komoditas tersebut tergolong langka dan berharga. Selain itu, sasi atau sihit dipraktekkan untuk mengontrol dan membatasi keserakahan manusia dalam mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan.  Kenyataan menunjukkan bahwa sasi masih penting guna menghindari penduduk dari kemiskinaan (preventing poverty) sumberdaya alam.

Kearifan lokal tersebut merupakan contoh eksklusif. Cukup sulit untuk direplikasi pada masyarakat lain. Masyarakat Bupolo cocok dengan kondisi alamnya. Lalu bagaimana dengan masyarakat lain yang sudah terlanjur “modern”. Pemanfaatan energi alternatif perlu menjadi pertimbangan khusus. Seperti tema pertanian organik, peternakan organik, pemanfaatan energi yang ramah lingkungan menjadi isyu pokok dalam proses pembangunan sudah seharusnya menjadi kebijakandi setiap negara. Bahan bakar nabati tentunya akan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dibanding dengan bahan bakar fosil. Pengejawantahan semangat kembali ke alam perlu agak sedikit dipaksakan. Percepatan penyadaran dan perubahan masyarakat untuk meyelaraskan hidup dengan kondisi alam, yang merupakan penyelamatan manusia itu sendiri dalam jangka panjangnya.

Posting Komentar

0 Komentar